Cara Mengasuh Anak Yang Keliru di Negara Asia

Cara Mengasuh Anak Yang Keliru di Negara Asia – Berbeda benua dan negara, berbeda juga pola pengasuhan anak yang diterapkan. Jika pola pengasuhan anak di benua Eropa dan Amerika terbilang cukup moderat, maka tidak dengan negara-negara di Asia.

Salah satu contoh nyata yang mungkin kita tahu adalah pola pengasuhan anak di dalam keluarga Tionghoa. Di satu sisi orangtua-orangtua Asia pasti memiliki kebanggaan tersendiri karena mendapati pola pengasuhan yang mereka warisi kepada anak selama berabad-abad membuat keturunan mereka terbilang menjadi orang-orang yang hebat dan berhasil di berbagai negara-negara besar, sebut saja Amerika dan Eropa. Jadi, tentu saja mereka tak berpikir ada yang salah dengan pola pengasuhan mereka. joker123

Cara Mengasuh Anak yang Keliru di Asia

Namun, ada beberapa pola pengasuhan yang keliru. Berikut ini beberapa cara orang tua di Asia dalam mengasuh anak mereka yang dianggap keliru. https://www.benchwarmerscoffee.com/

Suka memaksakan kehendak kepada anak, khususnya soal memilih profesi

Di negara-negara seperti India, Tiongkok, Indonesia dan negara lainnya ada ungkapan familiar mengenai hal ini. Yaitu kalau anak tidak jadi dokter, pengacara atau pegawai pemerintahan maka anak dianggap gagal oleh orangtuanya.

Ungkapan inilah yang kemudian membentuk anak-anak Asia untuk menjadikan diri mereka seperti apa yang orangtua mau. Padahal bila ditelusuri lebih dalam, tidak semua anak yang memilih profesi yang disarankan orangtua mereka benar-benar menyukai pilihan itu. Akibatnya, mereka hanya hidup mengikuti apa yang orangtua inginkan dan membendung keinginan pribadi untuk menggali potensi lain yang ada dalam diri mereka.

Berharap terlalu tinggi kepada anak-anaknya

Banyak anak-anak sukses karena harapan tinggi yang digantungkan orangtua atas diri mereka. Mereka diyakinkan bahwa mereka bisa menjadi apapun dan mencapai apapun dalam hidup ini.

Tapi dibalik kesuksesan itu, ada banyak anak yang hidup dalam beban harapan tinggi orangtuanya. Akibatnya, anak menjadi lelah dan trauma dengan segala tuntutan dan harapan-harapan tersebut.

Kenyataanya, hanya sebagian kecil saja anak-anak Asia yang secara genetis cukup berbakat untuk sukses dalam bidang akademik yang diinginkan oleh orangtua mereka. Bahkan kalau anak berhasil secara ajaib, mereka pasti akan berakhir dengan masalah psikologis di masa dewasa mereka. Karena mereka tak pernah merasakan masa-masa kecil yang menyenangkan seperti anak-anak pada umumnya.

Anak-anak yang dituntut terlalu banyak oleh orangtua hanya akan mencari lebih banyak uang, status, atau kesuksesan tetapi tidak pernah merasa bahagia atau puas dengan pencapaiannya itu. Mereka bisa memiliki harga diri yang rapuh karena mereka ditentukan oleh perkataan orang lain.

Jarang memberikan pujian kepada anak

Miliarder John Paul DeJoria dan Sam Walton selalu memberikan pujian kepada karyawannya ketika mereka meraih kesuksesan dalam pekerjaan mereka. Pujian itu ibarat bunga yang mekar, saat kita menyiraminya, maka bunga akan tumbuh dan menghasilkan bunga yang indah. Jika kita memotongnya, maka bunga itu akan layu.

Sayangnya, kebanyakan orangtua Asia melakukan hal sebaliknya. Kebanyakan diantaranya begitu pelit memberikan pujian kepada anak-anak mereka.  Orangtua Asia cenderung malah mematahkan semangat anak mereka. Bahkan saat anak melakukan hal yang baik dan benar, orangtua cenderung menahan pujian dan malah menuntut anak melakukan hal-hal yang lebih baik lagi.

Mendisiplin anak terlalu keras

Hal ini mungkin menjadi salah satu cara keliru orangtua Asia dalam membesarkan anak mereka. Kisah orang-orang sukses seperti Michael Strahan, Gary Vaynerchuck, Sara Blakely, dan Richard Branson, mengenai pola asuh orangtua mereka mungkin bisa membuka pikiran kita. Rata-rata diantaranya mengaku jika mereka diasuh dengan pola didik orangtua yang sangat positif dan optimis. Misalnya, orangtua Sara yang selalu memberikan pujian setiap kali makan malam. Bahkan ketika pun dia mengalami kegagalan, tak sekalipun dia mendapatkan kritikan atau dimarahi.

Bandingkan saja pola asuh ini dengan pola asuh yang diterapkan orangtua Asia pada umumnya. Sangat sedikit kita temui orangtua yang memberikan pandangan positif dan optimis ketika anak menghadapi kegagalan. Alih-alih melakukannya, orangtua Asia cenderung menerapkan disiplin yang begitu ketat dalam bentuk hukuman kepada anak.

Orangtua tak mengajarkan anak soal pentingnya beristirahat dan pulih dari trauma dan luka

Hal ini berhubungan dengan poin nomor 4, dimana disiplin ketat orangtua Asia membuat anak-anak mereka terdorong untuk belajar keras dan menjadi sukses karena takut diberikan hukuman. Mereka akhirnya dengan hati terpaksa harus bekerja keras dan mengabaikan waktu istirahat untuk mewujudkan keinginan orangtua mereka.

Hal ini membuat anak tidak lagi menghargai waktu istirahat yang harusnya mereka nikmati di masa-masa muda mereka. Anak juga berhak untuk menikmati masa bermain dan mengeksplorasi hal-hal baru yang menarik perhatian mereka. Sayangnya, orangtua Asia lupa akan hal itu.

Mungkin ada beberapa hal diantaranya yang kita para orangtua masih suka menerapkannya kepada anak-anak kita. Nah, jika kamu merasa setuju untuk mengubah pola asuh ini, mulailah belajar untuk mengubah pola pengasuhanmu dengan sesuatu yang dapat mendukung perkembangan anak yang lebih baik.

Menilai sistem pendidikan akademik sebagai kunci kekayaan terbesar

Orangtua Asia berprinsip kalau saat anak masuk ke sekolah ternama dan unggulan, maka masa depan anaknya akan terjamin. Bagi mereka, anak yang bisa masuk ke Universitas Harvard atau jadi juara Olimpiade akan menentukan masa depan yang lebih baik.

Sayangnya, pandangan ini sebenarnya diadopsi dari kondisi masa lalu dimana sangat langka bagi anak muda untuk bisa kuliah. Sementara saat ini, semua orang bisa belajar sesuatu dari informasi yang dengan mudah diakses oleh anak. Kecuali untuk memiliki pekerjaan dengan gelar bergengsi seperti jadi dokter atau pengacara, memilih kampus berkualitas dan ternama bisa menjadi pilihan.

Orangtua lebih peduli dengan ucapan orang lain

Warren Buffett memiliki konsep yang disebut dengan ‘kartu skor dalam versi luar’. Memiliki kartu skor bagian dalam berarti kamu lebih peduli dengan apa yang kamu capai sendiri. Sementara memiliki kartu skor luar berarti seluruh harga dirimu bergantung pada apa yang orang lain pikirkan tentang kamu, entah apakah itu benar atau tidak. Inilah yang kebanyakan dipercaya oleh orangtua Asia. Mereka lebih peduli tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang anak-anak mereka.

Biasanya mereka akan cenderung tidak memberitahukan kebenaran dan selalu membangga-banggakan anak mereka. Mereka adalah tipe orangtua yang suka pamer ke orang lain.

Cara Mengasuh Anak yang Keliru di Asia

Mendidik anak dengan mindset yang kaku

Carol Dweck menulis dalam sebuah buku mengenai penelitiannya selama bertahun-tahun tentang anak-anak dengan mindset yang kaku dan yang berkembang. Dijelaskan bahwa anak-anak dan orang dewasa yang punya mindset yang berkembang akan jauh lebih berhasil dalam hidup. Tapi bagi mereka yang punya mindset yang kaku tetap bisa mengubah pola pikirnya dan bertumbuh dengan membuka diri untuk mempelajarinya.

Sayangnya, banyak orangtua Asia yang membesarkan anak mereka dengan mewariskan mindset yang kaku. Entah pola pikir soal kesuksesan, pekerjaan, sekolah, keluarga, pergaulan dan sebagainya.

Jadi jangan heran bila kamu mendapati anak-anak yang tumbuh dalam didikan orangtua berpandangan terbuka akan jauh lebih sukses dibanding anak yang mengadopsi mindset kaku dari orangtuanya.

Takut menghadapi risiko

Orangtua Asia pada umumnya akan sangat fokus pada bagaimana anak-anak mereka mendapatkan pekerjaan tetap, dibayar dengan gaji yang baik dan bisa bertahan dengan kemungkinan akan menjadi orang yang sukses. Mereka juga akan memastikan jika pilihan anak-anaknya minim dari risiko. Mereka juga akan memastikan kalau anak tidak mencoba sesuatu yang gila.

Orangtua Asia sangat alergi dengan jenis pekerjaan yang berhubungan dengan dunia kreatif, seperti seni, musik, media dan sebagainya. Bagi mereka dunia ini tak bisa diandalkan untuk masa depan yang baik.